BELAJAR DENGAN KELAS SPESIAL
Oleh :
Mustain Ashari, S.Pd.I.
(Guru MIN 2 Kota Madiun)
Seorang guru madrasah dengan siswa yang cukup banyak, jelas membutuhkan strategi yang banyak dan tersendiri. Setiap pagi, diusahakan setengah jam sebelum masuk harus sudah hadir di sekolah. Sementara pulang pada pukul 15.00 WIB sampai dengan anak-anak pulang selurunya. Apalagi jika bertemu dengan anak “special. Kata “special” dapat diartikan dengan anak yang luar biasa dalam segi kognitif, berintelegensi tinggi, dan anak yang aktif belajar. Pada kondisi lain, kata “special” yang dimaksud adalah anak-anak yang lambat belajar, pasif di kelas, dan kadang berulah yang tidak sewajarnya.
Anak yang pasif di kelas seperti diatas dikatakan special. Seperti dicontohkan siswa-siswa yang berada di kelas madrasah ini, seringkali mendapatkan label negative dari banyak guru. Bahkan kelas tersebut sangatlah special dibandingkan dengan kelas lainnya. Hal itu disebabkan oleh sikap seluruh anak yang ada di kelas itu. Sikap mereka sangatlah pasif yang kadang membuat hampir semua guru merasa jengkel saat mengajar di kelas itu.
Sebetulnya kelas itu bukanlah tempat kumpulan anak nakal dan bengis, namun demikian mereka adalah anak-anak yang ceria di kala waktu istirahat. Seakan berubah menadi 100% dari keadaan di dalalm kelas (saat mereka mengikuti pelajaran). Mereka semua bersikap biasa, tenang, wajah menghadap depan seperti seharusnya, dan tidak ada gambaran wajah yang tertekan, namun ketika guru memberikan pertanyaan pada mereka, maka tidak ada reaksi apa-apa dari mereka dan tidak ada yang mau menjawab pertanyaan guru. Mereka hanya menatap guru dan tidak ada ekspresi sama sekali, meski tidak jarang guru mengulang-ulang pertanyaan yang sama.
Hanya ada satu dua anak yang menjawab pertanyaan pengulangan dari guru, itupun dengan suara lirih. Namun hanya ada satu dua anak yang menjawab, itupun dengan suara yang lirih. Dan ketika guru memintanya untuk mengulangi jawaban yang dia berikan sebelumnya, dia hanya tersenyum dan tetap tidak mau mengulangi jawabannya tadi. Meskipun guru tidak pantang menyerah dan berusaha memberikan reward berupa apapun agar anak mau menjawab pertanyaan yang diberikan, namun mereka tetap tidak memberikan reaksi apapun selain diam.
Awalnya, terpikir bahwa sikap pasif yang cenderung diam itu karena mereka tidak paham/ belum menguasai materi yang diajarkan. Kemudian guru mencoba mengajukan pertanyaan yang netral dan tidak ada hubungnnya dengan materi pelajaran sama sekali. Salah satu contohnya, guru bertanya “jumlah total anak kelas ini berapa ya?” Namun guru kembali kecewa, karena hasilnya sama. Tidak ada suara yang terdengar dari mereka. Rasa kecewa ini begitu besar tidak dapat dihindari manakala harapan mendapatkan jawaban dari mereka harus pupus, karena wajah-wajah mereka tidak menggambarkan ekspresi kemauan untuk mau berbicara atau menjawab. “Ya Allah, Berikan hamba kesabaran, kemampuan, dan petunjuk untuk mampu memberikan perubahan pada kelas ini, agar menjadi kelas yang aktif dan sukses, Amin”.
Berdasarkan paparan diatas, maka diperlukan tindakan kreatif dari guru kelas itu khususnya dan semua guru madrasah itu pada umumnya. Guru kelas dapat mengoptimalkan strategi, komunikasi hati, dan lainnya supaya bisa membuat kelas itu menjadi kelas yang aktif/hidup dan menjadi kelas yang lebih maju untuk kedepannya. Dan seluruh guru di madrasah itu juga harus mengetahui strategi yang dilakukan guna mensukseskan program perubahan pada kelas tersebut. Hal ini sesuai dengan Depdiknas 2003 yang berbunyi “Salah satu komponen penting dalam menstimulasi proses belajar secara aktif adalah komunikasi dalam proses belajar. Kegiatan belajar tidak akan berhasil jika siswa tidak melakukan komunikasi aktif baik dengan sesama pembelajar, dengan fasilitator atau dengan sumber belajar lainnya. Dalam hubungannya dengan komunikasi, sebagain besar pendekatan pembelajaran mensyaratkan komunikasi aktif sebagai faktor penting dalam pencapaian tujuan belajar. Menurut pendekatan kontekstual, untuk mencapai tujuan belajar terdapat tujuh komponen yang harus dilakukan pembelajar. Ketujuh komponen tersebut adalah kontruktivisme, inquiri, bertanya (questioning), masyarakat belajar, permodelan, refleksi, dan penilaian sebenarnya”.
Hampir semua aktivitas belajar questioning dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, guru dengan siswa, atau siswa dengan sumber belajar yang didatangkan di kelas. Aktivitas bertanya juga dijumpai ketika siswa berdiskusi, bekerja dalam kelompok, atau ketika siswa menemukan kesulitan dalam belajar (Depdiknas, 2003).
Langkah yang bisa ditempuh dalam rangka mengubah kelas menjadi lebih aktif adalah dengan mencari akar masalahnya. Keaktifan belajar dipengaruhi oleh banyak faktor, baik yang datang dari dalam diri maupun yang datang dari luar diri. Pembelajaran tidak selamanya dapat berjalan dengan mulus. Kadang – kadang terjadi atau dijumpai hambatan, terutama berhubungan dengan adanya gejala pasif dari siswa tertentu dalam mengikuti kegiatan belajar. Gejala semacam ini dapat mengganggu situasi kegiatan belajar. Jika keadaan tersebut dibiarkan, maka sasaran yang ingin dicapai akan terhambat.
Menurut Darwono, 2014 paling sedikit ada lima hal membuat siswa pasif di kelas: malu atau minder, takut, tidak mengerti, patuh, dan mental meremehkan. Pertama, malu atau minder cukup banyak diidap anak-anak guru. Bagi mereka, menampilkan diri di depan umum sama dengan mempermalukan diri sendiri. Supaya tidak dipermalukan (diri sendiri), sebaiknya tidak usah menonjol. Siswa pemalu umumnya berlatar sosial lemah: miskin, bodoh, jelek, ndeso. Kemiskinan, kebodohan, kejelekan, dan ke-ndeso-an adalah realitas sehari-hari di negeri guru. Guru cenderung memandang remeh bahkan menjauhi mereka. Jika sudah demikian, siswa pemalu akan memilih diam di kelas: datang, duduk, diam, lalu pulang. Biasanya siswa penakut tidak mau bertanya dan menanggapi meski sudah punya bahan bertanya atau menjawab. Mereka baru berbicara setelah bahan yang sama sudah ditanyakan atau sudah dijawab orang lain.
Kedua, siswa menjadi penakut karena tidak mau mengambil risiko jika pertanyaannya atau jawabannya salah. Siswa seperti ini sudah punya pengalaman buruk (baik dialaminya sendiri maupun dialami orang lain) bahwa kalau pertanyaan dan jawabannya salah atau jelek, ia harus terima risiko diolok-olok, dimarahi, dikata-katakan jelek, bahkan mendapat hukuman dari guru atau orang lebih tua dalam keluarga. Realitas di sekolah dan dalam masyarakat: orang sering menghukum anak yang salah dalam berbicara, bertanya, atau menjawab. Bentuknya bisa berupa olokan, kemarahan, bahkan pemukulan. Anak-anak memilih diam. Lagi pula, masyarakat guru yang paternalistik tidak membiasakan anak-anak yang mengeluarkan pendapat, mengkritik orangtua, bahkan tidak memiliki hak mengambil keputusan penting. Yang dijunjung: diam dan patuh.
Ketiga, siswa tidak mengerti. Sampai saat ini guru bukan tipe pembaca buku atau media; juga bukan tipe pencipta dan pembaru. Inilah yang membuat siswa tak mau bergerak mencari sendiri (termasuk uji coba) di luar kegiatan belajar-mengajar untuk memperkaya wawasan dan pengalaman mereka. Maka, ketika masuk kelas, mereka dalam keadaan tidak tahu. Bahkan, siswa tidak tahu apakah dia belum atau sudah tahu suatu hal. Ini bisa dibuktikan dengan mengajukan pertanyaan ”apakah sudah mengerti” yang direspons dengan diam belaka. Ditanya ”mana yang belum mengerti”, ya, diam juga. Jadi, siswa bingung sendiri mana yang sudah ia ketahui dan mana yang belum ia ketahui. Mereka memilih diam di kelas. Keengganan siswa memburu wawasan dipengaruhi oleh nilai yang akan diberikan guru. Siswa tahu bahwa tinggi-rendah nilai yang ia peroleh bergantung pada bisa-tidak dia menjawab soal yang diberikan. Betapa pun luas wawasannya, kalau tak ada dalam soal ujian, tetaplah ia sulit dapat nilai tinggi.
Keempat, siswa patuh. Sudah lama pelaksana pendidikan guru mengajarkan kepatuhan dan penghormatan antar individu kepada anak-anak: harus patuh dan hormat kepada yang lebih tua, lebih tinggi sekolahnya, lebih kaya, dan lebih berkuasa. Di kelas masih ada guru yang dipandang lebih tua usianya dan lebih tinggi tingkat pendidikannya, siswa akan kesulitan mengajukan pendapat yang sekiranya berbeda dari gurunya. Jika Guru menghendaki siswa bertanya dan menjawab, siswa khawatir kalau-kalau pendapat mereka tidak sesuai dengan pendapat gurunya. Mereka risi sendiri dan memilih patuh saja pada pendapat guru.
Dan kelima, mentalitas meremehkan. Ada siswa yang meremehkan materi pelajaran di kelas lantaran mereka tahu bahwa di luar sana banyak orang bisa hidup tanpa harus menguasai materi pelajaran itu.
Mengacu pada pendapat diatas, maka seyogyanya sebagai guru benar-benar harus berusaha untuk mengatasi masalah kepasifan kelas secara maksimal. Mengingat penyebab munculnya masalah itu bersifat perseorangan (individual), maka penangannya pun harus dilakukan secara individual pula. Proses seperti demikian akan membutuhkan waktu yang relative lama dan menjalankannya juga membutuhkan kesabaran yang ekstra. Dimulai dari guru harus menciptakan suasana belajar yang nyaman dan ramah, dimana setiap anak diberi kebebasan berekspresi dan berpendapat, selain juga tidak gampang diberi hukuman. Guru juga tak boleh membatasi komunikasi hanya kepada anak-anak aktif atau agak aktif saja, namun juga kepada si pasif. Guru juga bisa memberikan penghargaan yang sepadan dengan prestasinya, sehingga kepercayaan diri anak akan bangkit. Hal yang tak kalah penting adalah anak jangan diolok-olok temannya supaya anak tidak malu dan minder. Guru harus berani menegur anak yang senang mengolok-olok teman lain.
Langkah ini harus dilakukan oleh seluruh guru yang mengajar dikelas tersebut secara bersama-sama. Tentunya langkah ini harus diketahui dan disetujui oleh kepala sekolah selaku penanggung jawab sekaligus pembina dalam madrasah tersebu. Yang nantinya kegiatan tersebut diharapkan bisa dilaksanakan, dipantau dan ditindak lanjuti perubahan atau perkembangannya, sebagaimana mestinya.
Daftar Pustaka:
Tinggalkan Komentar