COVID-19: ANTARA MUSIBAH, HIKMAH DAN ANUGERAH
Oleh : Sunarwan, S.Pd.I., M.Pd.I.
Pandemi Virus Melanda Dunia
Tahun 2020 menjadi tahun yang sangat menyibukkan bagi semua bangsa bahkan bagi setiap manusia tanpa terkecuali baik yang dikota maupun di desa. Pandemi Covid-19 adalah realitas global yang menerjang tatanan kehidupan umat manusia dari level internasional, Nasional hingga rumah tangga. Kemunculannya menyerang siapa saja yang dapat terjangkiti, tanpa memandang negara, agama, suku, ataupun strata sosial lainnya. Ia menjadi “musuh” bersama yang harus dilawan dengan cara salah satunya , memutus mata rantai penyebarannya. Covid-19 ini adalah musibah yang mengglobal. Ia tidak akan memilih sasarannya berdasarkan pertimbangan keagamaan ataupun aliran. Siapapun berpotensi terpapar jika daya tahan tubuhnya tidak kuat, tidak menerapkan pola hidup sehat, ataupun tidak menerapkan physical distancing. Covid-19 bukanlah “tentara Allah SWT ” yang tidak akan menargetkan hamba-Nya yang menjalankan kesalehan spiritual normatif. Kesalehan bukan jaminan terhindar dari virus mematikan ini. Allah SWT memperingatkan siapapun dalam QS. Al-Anfal: 25, “Dan peliharalah dirimu dari siksa yang sekali-kali tidak hanya menimpa secara khusus orang-orang yang zalim di antara kamu.Dan ketahuilah bahwa Allah SWT sangat keras pembalasan-Nya”. Kemudian bagaimanakah sebagai umat yang beragama dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menghadapi dan menyikapi pandemi Covid-19???
Maqashid al-Syari’ah
Maqashid al-Syari‘ah menegaskan bahwa semua aktivitas dan ibadah tanpa terkecuali dilaksanakan dalam rangka menjaga agama, akal, diri, keturunan dan harta. Secara sederhana, apapun yang potensial mengganggu kelima hal ini mesti dihindari terlebih dahulu melebihi kepentingan ibadah. Karena itu pula, ulama menyajikan sebuah pakem (kaidah ushul fiqh) “menghindari bahaya selalu lebih diprioritaskan dari mencari maslahat.” Dalam konteks ini, memakan yang haram sekalipun , dibolehkan, bahkan diperintahkan untuk menyelamatkan hidup manusia. (Saenong, dkk., 2020: 5). Begitu indah syari’ah Islam mengatur dan menjaga keberlangsungan kehidupan umat muslim dengan prinsip-prinsip yang sudah diyakini tidak bertentangan dengan pedoman utama yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Hal ini dikarenakan dengan menjaga prinsip-prinsip dasar kehidupan itu kaum muslimin akan dapat menjalankan pengabdian kepada Allah SWT sebagai seorang hamba dengan penuh ketenangan dan keikhlasan.
Kita dapat belajar dari beberapa contoh di masa Nabi. Rasulullah SAW pernah menegur salah seorang sahabat karena membiarkan ontanya tidak tertambat dengan dalih tawakkal kepada Allah SWT, sementara ia masuk masjid hendak shalat. Kita juga teringat hadits lainnya, “Jika kalian mendengar kabar ten tang merebak nya wabah Tha’un di sebuah wilayah, janganlah kamu memasukinya. Dan, jika kalian tengah berada di dalamnya, maka janganlah kamu keluar darinya”. (HR. al-Bukhari & Muslim). Nabi pernah menganjurkan tinggal di rumah daripada ke masjid hanya karena hujan lebat yang menakutkan. Nabi pernah berujar agar yang sakit tidak bercampur dengan yang sehat (HR. al-Bukhari dan Muslim). Rasa takut dan sakit juga diyakini sebagai uzur (alasan) untuk tidak shalat jamaah di masjid. Contoh-contoh seperti ini sejatinya dapat menjadi contoh yang baik bagi umat Islam untuk beribadah di masa wabah. (Saenong, dkk., 2020: 6). Teringat logika cerdas dari seorang da’i nusantara KH. Ahmad Muwaffiq dari Yogyakarta dalam suatu kesempatan beliau menyatakan yang pada intinya “kalau ada orang mengatakan tidak takut Corona Covid-19 “hanya takut kepada Allah” padahal penyakit, virus atau apapun semua adalah sama-sama makhluk Allah SWT, harimau, singa juga makhluk Allah maka coba mereka yang berkata itu sekali-kali disuruh tidur tinggal dalam satu ruangan dengan singa dan harimau….?!”.
Antara Musibah, Hikmah dan Anugerah
Pada bulan Ramadhan yang telah kita lalui bolelah dikatakan sebagai bulan suci yang begitu spesial, pun pada bulan Rabi’ul Awwal yang orang sering menyebut dengan bulan Maulud (Maulid) ini, betapa tidak disaat bersamaan kita harus menghadapi meminjam istilah pemerintah adalah “perang” dengan virus Covid-19. Mengapa dikatakan spesial? bagaimana tidak, disaat normal saja Allah SWT melipatgandakan setiap amalan sunah apalagi yang wajib dilipat-lipat gandakan pahala dan fadhilahnya. Apalagi bagi hamba yang selain melaksanakan ibadah-ibadah sunah dan wajib dia juga bersabar dan mentaati seruan dari ‘ulama dan ‘umara yang sama-sama harus dijunjung tinggi fatwa dan anjurannya. Lalu bagaimana sebaik-baik sikap seorang muslim menghadapi kondisi musibah pada masa-masa seperti saaat ini?
Baginda Rasulullah SAW pernah bersabda: ” Tidaklah seorang muslim ditimpa keletihan (akibat sakit), sakit berkepanjangan, kesusahan, kesedihan, sesuatu yang menyakitkan, dan kedukaan yang hebat, bahkan duri yang menusuk dirinya kecuali dengan sebab itu Allah menghapuskan kesalahan-kesalahannya.” (HR. al-Bukhari; kitab orang sakit; bab ampunan bagi orang sakit). Allah SWT berfirman dalam QS. Asy-Syura: 30: “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” Dalam Tafsir Al-Baidhawi yang dinukil oleh Abu Thalhah Muhammad Yunus Abdus Sattar di dalam Kitabnya yang berjudul Syifa’ ar-Ruh lil al-Maridh wa al-Marjuh (Penawar Bagi yang Sakit dan di Timpa Musibah), bahwa makna lafadz ayat, “Dari musibah” berarti sakit, bencana, petaka, kerusakan diri dan harta benda yang dikhususkan bagi orang yang berdosa. Adapunj selain mereka, segala musibah itu memiliki manfaat meningkatkan derajat mereka.
Syekh Izzuddin Bin Abdissalam (660 H) seorang Ulama kenamaan dari Madzhab Syafi’i jauh-jauh hari telah merangkum berbagai faidah dan hikmah dari sebuah Musibah dan bencana dalam satu kitab karangannya. Ulama yang bergelar Sulthanul Ulama ini menulis sebuah kitab berjudul Al-Fitan wa al-Balaya Wa al-Mihan wa al-Razaya atau dalam manuskrip lain kitab ini berjudul Fawaid al-balwa wa al-Mihan. Dalam kitab ini Syekh Izzuddin bin Abdissalam menyebutkan secara ringkas 17 faidah dan hikmah dibalik sebuah musibah atau pun bencana. Berikut dituliskan semua hikmah yang telah dirangkum Syekh Izzudin bin Abdissalam tentu dengan menambahi redaksi dan narasi yang sesuai konteks saat ini (Akhmad Yazid Fathoni, 2020). Yakni:
Pertama, dalam musibah ini kita bisa menyaksikan betapa agungnya kekuasaan Allah. Karena pada hakikatnya semua musibah ini berasal dari Allah, sehingga patut kiranya dari musibah ini kita kembali menyadari bahwa semua ini adalah bentuk Keagungan Allah yang tiada tara.
Kedua, kita hanyalah hamba yang tak berdaya. Di tengah berbagai upaya manusia menghadapi wabah ini kita kembali harus menyadari kita semua hanyalah hambanya. Ketika semua upaya telah dikerahkan, semua kemampuan juga telah digerakkan kita akan menemui sebuah batas kehambaan. Setelah itu semua keputusan adalah hak Allah. Dan kita pun harus menyadari ‘semua ini telah digariskan’.
Ketiga, ikhlas menerima musibah ini. Karena tidak ada yang sanggup menghilangkan musibah ini kecuali Allah. Pun tak akan ada yang sanggup meringankannya kecuali Allah. Sehingga mau tidak mau kita harus ikhlas menerima semua ini sebagai bentuk ketundukan kita sebagai seorang hamba.
Keempat, kita akan menyadari bahwa Allah lah tempat kembali yang sejati. Hal ini selaras dengan apa yang diisyarahkan Allah dalam surat Az-Zumar ayat 8 “Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya.”
Kelima, kita dilatih dan dibiasakan untuk berdoa kepada Allah. Dengan kondisi seperti ini, rasanya tidak mungkin kita menggantungkan harapan pada selain Allah. Karena Allah sudah berjanji untuk selalu mengabulkan permintaan dari hambanya yang sudi menengadahkan tangan untuk meminta.
Keenam, kita dilatih untuk bersikap tenang menghadapi situasi seperti ini. Syekh Izzzuddin bin Abdissalam dalam hal ini menyitir cerita Nabi Ibrahim yang dipuji Allah dalam Al-Qur’an sebagai orang yang tenang dalam menghadapi musibah (Q.S At-Taubah : 114). Begitupula kita dalam situasi ini kita dituntutut dan dilatih untuk tetap bersikap hilm.
Ketujuh, memaafkan kepada sesama manusia. Dalam konteks ini tentu sangat relevan dengan kondisi bangsa ini. Dimana banyak diantara kita yang justru menjadikan berbagai kelompok sebagai kambing hitam pandemik ini. Sebagaimana kita saksikan sendiri banyak yang menyatakan pandemik ini adalah adzab Allah atas kezaliman China, juga ada yang mengaitkannya dengan penindasan etnis Uyghur disana. Dari hikmah ketujuh ini kita seakan dimentahkan oleh Syekh Izzuddin bin Abdissalam untuk menanggalkan semua sikap itu. Kita lebih baik fokus pada upaya-upaya produktif menanggulangi dampak Covid-19 ini bagi bangsa ini.
Kedelapan, kita harus bersikap sabar. Prof. Dr. Muhammad Ali Mas’udi (Guru Besar Universitas Islam Madinah) dalam kata sambutan di Kitab Syifa’ ar-Ruh li al-Maridh wa al-Marjuh menyatakan:” Allah telah membangun benteng kokoh, tempat kita kembali ketika ditimpa musibah: sabar. Ada delapan fadhilah sabar menurut beliau yakni: 1) keluar dari penderitaan. 2) meraih kemenangan dari musuh. 3) berhasil mendapatkan cita-cita. 4) mendapat kepemimpinan atas manusia. 5) pujian dari Allah.6) kabar gembira dan rahmat petunjuk bagi mereka. 7) kasih saying Allah kepada orang-orang yang sabar. 8) derajat yang tinggi di syurga.
Kesembilan, kita harus bergembira atas berbagai hikmah dibalik musibah ini. Artinya kita harus memandang ini dengan kacamata hikmah. Syekh Izzuddin bin Abdissalam menganalogikan hal ini dengan seseorang yang sedang sakit, tentu ia harus mengkonsumsi berbagai obat-obatan yang pahit rasanya. Nah, dari sini seyogyanya seorang tersebut tidak merasakan pahitnya obat tersebut, namun harus meyakini efek positif setelah meminum obat tersebut.
Kesepuluh, kita harus mensyukuri musibah ini. Sebagaimana seorang pasien yang berterima kasih atas pelayanan seorang dokter yang telah mengobati lukanya.
Kesebelas, hal ini merupakan ajang peleburan dosa itu. Dengan adanya musibah ini barangkali ini merupakan cara Allah untuk mensucikan kotoran-kotoran yang mengotori diri kita.
Kedua belas, memupuk rasa kemanusiaan kita. Hal ini menjadi penting diutarakan oleh Syekh izuddin bin Abdissalam karena terdapat riwayat hadis dalam Kitab Muwattho’ Imam Malik. “Diantara manusia ada yang diberi kesehatan ada pula yang diberi cobaan. Maka kasihanilah (mereka) yang tertimpa cobaan dan syukurilah atas kesehatan.” Dalam musibah Covid-19 ini pun kita juga telah menyaksikan betapa banyak manusia yang terpanggil untuk ikut serta menyumbangkan apa yang mereka punya untuk membantu sesama. Dari sini kita harus merenung hal apa sajakah yang telah kita lakukan atas “solidaritas kemanusiaan” ini?
Ketigabelas, kita baru menyadari betapa pentingnya kesehatan. Dalam hal ini, kita bisa merenung betapa hal remeh dalam kehidupan kita seperti cuci tangan rutin, pola hidup, pola makan sehat tiba-tiba menjadi hal yang penting dalam kehidupan kita. Bahkan di akhir Syekh Izzuddin bin Abdissalam mengungkapan ungkapan popular yang kini sering didengungkan “kita akan tahu betapa berharganya kesehatan setelah kehilangnya”.
Keempatbelas, di balik semua ini menyimpan pahala yang besar bagi orang yang bersabar.
Kelimabelas, di balik semua ini juga terdapat hikmah yang luar biasa. Syekh Izzuddin bin Abdissalam mencontohkan ketika Nabi Ibrahim mendapat cobaan dengan kehilangan sosok Siti Sarah dalam hidupnya. Allah mendatangkan Siti Hajar sebagai penggantinya bahkan ia melahirkan seorang penerus yakni Nabi Ismail AS.
Keenambelas, mencegah merebaknya kemaksiatan. Sebagaimana kita tahu dengan mewabahnya virus ini banyak lokasi-lokasi maksiat yang menjadi tutup. Banyak orang takut melakukan maksiat. Dan hal ini merupakan hikmah yang luar biasa.
Ketujuhbelas. Hikmah yang terakhir ini merupakan puncak hikmah yang diberikan oleh Allah. Namun tidak semua hambanya bisa mencapai fase ini. Apa itu? Yakni lahirnya sikap rida atas segala ketentuan Allah. Sikap ini menjadi puncak dari segala hikmah diatas adalah karena dengan keridaan kita terhadap apa yang telah digariskan Allah akan melahirkan Ridho Allah pada kita pula.
Dua hal yang seyogyanya ada dalam diri kita sebagai seorang muslim dalam menghadapi masa-masa pandemi terlebih di bulan mulia ini selain apa yang telah diuraikan adalah adanya kebesaran hati untuk selalu mentaati himbauan dari umara’ dalam hal ini pemerintah, menjaga jarak dan selalu memakai masker, karena setiap kebijakan pemerintah sudah semestinya akan sebesar-besar demi kemanfaatn dan kemaslahatan rakyatnya. Sebagaimana kaidah ushul fiqh yang dinukil oleh K.H. Afifuddin Muhajir dalam bukunya Fiqh Tata Negara, yaitu: “Tashorrufu al-Imami ‘ala ar-Ro’iyyati Manuuthun bi al-Mashlahati (Kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya dikaitkan dengan kemaslahatan).”
Daftar Pustaka
Abdus Sattar, Muhammad Yunus, Abu Thalhah. 2019. Syifa’ ar-Ruh li al-Maridh wa al-Marjuh (Penawar Bagi yang Sakit dan di Timpa Musibah). Terjemah: M. Alaika Salamulloh. Yogyakarta: Pustaka Hati.
As-Sulamiy, ‘Izzuddin ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdis Salam. Tanpa Tahun. Al-Fitan wa al-Balaya Wa al-Mihan wa al-Razaya. Beirut: Dar al-Fikr.
Muhajir, Afifuddin, K.H.. 2017. Fiqh Tata Negara (Upaya Mendialogkan Sistem Ketatanegaraan Islam). Yogyakarta: IRCiSoD.
Saenong, F., Faried, dkk. 2020. Fikih Pandemi (Beribadah di Masa Pandemi). Jakarta: Nuo Publishing.
Tinggalkan Komentar