Di resensi oleh: Ikromah, S.Pd
Judul : Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
Pengarang: Darwis Tere Liye
Tahun Terbit : 2010
Penerbit: PT GRAMEDIA PUSTAKA
Tebal: 256 halaman
Daun yang jatuh tak pernah membenci angin,
Dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja.
Tak melawan. Mengikhlaskan semuanya.
Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah.
Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar.
Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yang tulus.
Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang.
Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan.
Saya pertama kali mengenal nama Darwis Tere Liye melalui sebuah novel yang berjudul “Burlian” pada tahun 2011 silam. Novel ini merupakan salah satu seri dari tetralogi serial anak-anak mamak. Pada novel ini pula seorang Darwis Tere Liye berhasil menghipnotis saya melalui kata-kata yang apik dalam memoar masa kecil anak-anak melayu pedalaman yang tangguh dan pantang menyerah.
Darwis Tere Liye merupakan salah satu penulis ulung yang banyak melahirkan karya-karya menakjubkan yang sebagian besar adalah karya berpredikat “Best Seller” termasuk diantaranya adalah Novel Rindu, Tetralogi serial anak-anak mamak, Hafalan sholat Delisa, Moga Bunda disayang Allah, Hujan, sunset bersama Rosie, dan masih banyak lagi.
Selayaknya judul yang telah saya tulis, saya ingin memaparkan gambaran dari novel yang berjudul “Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin” yang terambil dari sebuah ungkapan anonim “The Falling Leaf Doesn’t Hate The Wind” dalam film Jepang “ Zatoichi ”.
Novel ini mengisahkan tentang dua topik utama yang sangat besar berpengaruh pada jalannya cerita novel yaitu tentang kisah cinta segitiga dan semangat mengejar pendidikan yang tinggi hingga ke negeri Marlion-Singapura. Kisah cinta ini bukanlah kisah cinta segitiga yang pada umumnya dikisahkan dalam telenovela atau bahkan sinetron-sinetron di Indonesia. Cinta segitiga yang dikisahkan secara tragis nan pilu melalui cinta yang “dipendam” hampir 10 tahun lamanya.
Adalah Tania, seorang gadis berumur 8 tahun yang ayahya telah meninggal karena sakit harus merelakan putus sekolah demi menyambung hidup. Ia membanting tulang dengan menjadi pengamen jalanan dengan adiknya Dede dari satu tempat ke tempat yang lain, pergi pagi pulang malam meskipun hanya menyisihkan beberapa lembar uang ribuan. Penampilan sudah bukan lagi barang yang penting bagi mereka. Demi mencari sesuap nasi, demi ibunya yang sudah mulai sakit-sakitan, baju kumuh, badan dekil sudah tak lagi dihiraukannya. Setelah 3 tahun hidup di rumah kardus, mengais rezeki di jalanan ibukota yang ganas, Tania dipertemukan dengan sosok bernama Danar. Seorang malaikat penolong yang membantu Tania membebat luka paku payung di kaki kecilnya sewaktu mengamen di bus kota. Sosok Danar inilah yang banyak membantu keluarga Tania, memberikan makan, tempat berteduh, sekolah, yang diam-diam telah membawa Tania memiliki perasaan yang dalam pada sosok malaikatnya ini.
Dengan mengambil setting lantai 2 sebuah toko buku terbesar di jalan Margonda, Tere Liye memulai alur cerita mundur (flash back) yang sangat menarik. Memulai perjalanan kisah hidup 10 tahun seorang Tania. Dengan episode-episode yang dikemas secara apik, pembaca diajak untuk menyelami mozaik teka-teki yang akan bertaut pada akhir cerita. Penulis juga memakai kata “aku” sebagai kata ganti pelaku utama, penggunaan kata ini dapat mengantarkan pembaca seolah-olah mengalami sendiri etape kehidupan seorang Tania yang penuh dengan haru dan air mata.
Dikisahan, sepeninggal ibunya, Tania belajar dengan sangat tekun. Dengan mengikuti kursus bahasa inggris selepas SD, Tania (atas saran Danar) mendaftar ASEAN scholarship yang membawanya bersekolah di Singapura, dengan semangat belajarnya yang menyala-nyala, ia berhasil menuntaskan masa sekolah SMP nya dengan meraih predikat terbaik kedua. Tak puas berada di runner up, ia berhasil membalas dendam belajarnya dengan meraih predikat terbaik yang mengantarkannya meraih satu tiket belajar di National University of Singapore (NUS) salah satu universitas terbaik di Singapura.
Cerita diakhiri dengan ending yang mengambang. Tere liye meminta pembaca menafsirkan sendiri jawaban teka-teki rasa yang dialami Tania kepada Danar. Berikut adalah cuplikan hal 254
Jarak kami hanya selangkah
“ Katakanlah … walau itu sama sekali tidak berarti apa-apa lagi “.
Diam, senyap
Dia membisikkan sesuatu
Desau angin malam menerbangkan sehelai daun pohon linden jatuh di atas rambutku.
Aku memutuskan pergi.
Sebagai penutup, novel ini sangat bagus dibaca terutama bagi para remaja yang masih menemukan jati dirinya. Melalui sosok Tania, Tere Liye menggambarkan bahwa perasaan cinta tidak melulu harus diungkapkan, harus diumbar-umbar, bahkan mengantarkan seseorang ke lembah nista yang sarat akan dosa. Para pembaca diajak untuk menggunakan cinta ke jalan yang lebih baik bahkan mampu mengantarkan seseorang meraih masa depan yang lebih baik. Menapaki kesuksesan yang lebih hakiki.
Pengen baca buku itu
Tinggalkan Komentar