Kesetaraan Dalam Bingkai Agama dan Keindonesiaan
Oleh:
SUNARWAN, S.Pd.I., M.Pd.I.
“Perkumpulan, solidaritas, persatuan dan persaudaraan merupakan hal yang sudah diketahui manfaatnya oleh setiap orang”. (Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari dalam Mukaddimah Qanun Asasi).
“Bangsa Indonesia, natie Indonesia, bukanlah sekadar satu golongan orang yang hidup dengan “le desir d’etre ensemble (kehendak untuk bersatu)” di atas daerah-daerah, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia yang menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah SWT tinggal di kesatuan semua pulau-pulau Indonesia dari ujung utara Sumatera sampai ke Irian seluruhnya”. (Ir. Soekarno).
Negara Kita Adalah Indonesia
Bung Karno mengingatkan bahwa tiap-tiap negara merdeka bukan berarti nationale staat. Demikian pula bukan semua negeri di tanah air kita yang merdeka di jaman dahulu adalah nationale staat. Diingatkannya bahwa bangsa ini hanya dua kali mengalami nationale staat, yaitu di jaman Sriwijaya dan Majapahit. Di luar itu, bangsa ini tidak mengalami nationale staat.
Mataram meskipun merdeka, bukan nationale staat. Kerjaan Pajajaran bukan nationale staat. Prabu Sultan Agung Tirtayasa dengan kerajaannya di Banten meskipun merdeka, bukan satu nationale staat. Sultan Hasanoeddin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis yang merdeka itu bukan satu nationale staat. (Wawan Tunggul Alam, 2002). Nationale staat menurut Bung Karno adalah keseluruhan wilayah Indonesia saat ini yang sebagaimana telah ada sejak jaman Sriwijaya dan Majapahit, dengan berbagai kultur, budaya, etnis dan bahasanya menyatu dalam kesatuan yang utuh.
Cinta tanah air menjadi prasyarat atas keberlangsungan sebuah negara. Sayid Muhammad mendefinisikan tanah air (al-wathan) sebagai tanah di mana kita lahir dan tumbuh berkembang disana, memanfaatkan tumbuhan dan binatang ternaknya, mencecap air dan udaranya, tinggal di atas tanah dan di bawah kolong langitnya, serta menikmati berbagai hasil bumi dan lautnya sepanjang masa. Semua fasilitas tersebut membuat manusia menyerahkan jiwa, raga dan harta bendanya untuk mengabdi pada tanah airnya dengan mendatangkan kebaikan, mengembangkan perekonomian dan memajukannya. (Al-Sayyid Muhammad dalam Lanny Octavia, 2014). Jika seseorang mencintai tanah airnya, ia akan senang jika tanah air tersebut dalam kondisi baik di semua dimensi: sosial, ekonomi, budaya, politik, ekologi dan sebagainya. Sebaliknya, ia akan merasa sedih dan prihatin jika tanah airnya dalam kondisi mengenaskan. Ia akan merasa prihatin manakala melihat interaksi sosial, politik bahkan ekonomi dan budaya di dalam masyarakat dipenuhi dengan hoaks, berita bohong, saling mencaci-maki, yang pada akhirnya akan meruntuhkan nilai-nilai luhur persaudaraan dan akhirnya akan melemahkan persatuan diantara anak bangsa.
Menurut Syekh Mustafa Al-Ghulayaini, nasionalisme (al-wathaniyyah) adalah satu naluri manusia universal. Orang yang sungguh-sungguh mencintai tanah airnya akan membuktikannya dengan sikap dan perbuatan yang positif bagi tanah air dan penduduknya, misalnya dengan memajukan pendidikan dan ilmu pengetahuan yang menjadi kunci menuju kemerdekaan yang sejati yaitu kemerdekaan ekonomi dan politik. (Syaikh Musthafa al-Ghulayaini dalam Lanny Octavia, 2014).
Khazanah Nilai Cinta Tanah Air dari Pesantren
Para ulama pesantren telah merumuskan konsep persaudaraan yang terjalin antar sesama muslim (ukhuwwah Islamiyyah), antar sesama anak bangsa (ukhuwwah wathaniyyah) dan antar sesama manusia (ukhuwwah basyariyyah / ukhuwwah insaniyyah). Konsep persaudaraan ini dirumuskan oleh KH. Achmad Siddiq, pimpinan Pondok Pesantren As-Siddiqiyyah di Jember, Rais ‘Aam PBNU tahun 1984-1991 dan sekretaris pribadi KH. Wahid Hasyim pada tahun 1950 KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kemudian menyebarluaskan, member pemaknaan lebih mendalam dan menerapkan konsep tersebut dalam pergaulan sosial yang lebih luas, di mana seluruh ulama pesantren pun di kemudian hari pun ikut mengamini langkah tersebut.
Persaudaraan sebangsa dan senegara (ukhuwwah wathaniyyah) merupakan ruh bagi cinta tanah air. Para kiai pesantren menyadari bahwa bangsa Indonesia berasal dari berbagai suku, bahasa, adat-istiadat dan agama serta keyakinan/kepercayaan, dan meskipun berbeda-beda, mereka semua saling bersaudara. Sebagai saudara sebangsa, kalangan pesantren tidak memusuhi perbedaan atau mereka yang dipandang berbeda, karena bangsa ini dibangun secara bersama-sama. Pesantren pun menunjukkan kecintaan terhadap tanah air dengan turut serta dalam perjuangan meraih kemerdekaan dan pembangunan Indonesia. (Lanny Octavia, 2014). Bahkan sejarah mencatat perjuangan mempertahankan kemerdekaan di Surabaya yang pada akhirnya melahirkan Hari Pahlawan adalah buah dari gerakan perlawanan santri dalam hal ini pesantren dan semua komponen bangsa yang disemangati dan dikobarkan dengan Fatwa Resolusi Jihad oleh Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari dari Pondok Pesantren Tebu Ireng di Jombang, Rais Akbar Nahdlatul Ulama.
Kesetaraan dalam Agama dan Ke Indonesiaan
Keseteraan satu hal yang tidak terelakan dalam negara bangsa yang multikultur seperti Indonesia. Perbedaan warna kulit, bahasa, jenis kelamin, suku, ras, agama, budaya, dan golongan adalah kehendak Allah SWT, yang tak mungkin bisa di nafikan manusia. Berbagai perbedaan tersebut adalah fitrah, sebagaimana halnya dengan kodrat penciptaan alam semesta dan seluruh isinya yang beraneka rupa. Perbedaan tidaklah ditujukan agar manusia saling berselisih, merendahkan atau menjatuhkan satu sama lainnya. Namun, supaya manusia saling mengenal, memahami dan melengkapi. Semua manusia memiliki kedudukan yang sama-setara-dihadapan Allah, dan satu-satunya pembeda adalah ketakwaannya. Dengan kata lain, kemuliaan seseorang tidaklah ditentukan oleh hitam-putih kulitnya, jenis kelaminnya, asal-usul keturunannya atau pun criteria fisik lainnya, melainkan oleh kualitas spiritualnya (Lanny Octavia, 2014). Hal ini sebagaimana makna dari Q.S. Al-Hujurat ayat 13.
Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, prinsip kesetaraan dilanjutkan oleh para penggantinya termasuk Khalifah Umar ibn Al-Khattab. Di masa kepemimpinannya, Umar ibn Al-Khattab memilih para pejabat dan pegawai pemerintahan berdasarkan kemampuan mereka, tanpa mempertimbangkan faktor kekerabatan, pertemanan dan kekayaannya. (Jabbar). Umar ibn Al-Khattab juga menegakkan hukum tanpa pandang bulu, sebagaimana ia tunjukkan ketika menjatuhkan hukuman pada putra Amru ibn Al-‘Ash. Pada saat itu, putra Amr ibn Al-‘Ash yang kalah dalam lomba berkuda, memukul seorang penduduk Mesir dan berlindung di balik kedudukan ayahnya yang menjabat sebagai Gubernur Mesir kala itu. Umar pun memanggil Amru ibn Al-‘Ash dan putranya, dan menegakkan qishash. Umar berkata, “Wahai ‘Amru, sejak kapan engkau memperbudak manusia? Padahal mereka terlahir dari rahim ibu mereka dalam keadaan merdeka.” Pandangan Umar ibn Al-Khattab tentang kesetaraan dan kebebasan manusia tersebut bisa dikatakan melampaui zamannya, di mana perbudakkan masih dianggap lumrah dan legal. Begitupun dibidang yang lain semua orang memiliki kesetaraan yang sama.
Kesetaraan dalam konteks ke Indonesiaan harus dimaknai kesetaraan dalam lintas agama dan keyakinan. Islam sebagai agama rahmat menjadi tolak ukur dalam mengimplementasikan kerahmatan tersebut dalam berbagai segi kehidupan dan tata nilai termasuk nilai kesetaraan dalam berbagai aspek kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sejauh yang dapat ditelusuri dari kehidupan Nabi Muhammad SAW, kita menemukan fakta-fakta historis bahwa prinsip-prinsip kemanusiaan Islam (baca: kerahmatan Islam) tidak hanya muncul sebagai wacana yang dikhutbahkan atau dipidatokan Nabi SAW, di mana-mana, melainkan juga telah menjadi sikap dan perilaku keseharian beliau dan para sahabat-sahabatnya. Bahkan, Tuhan sungguh-sungguh memberikan kesaksian atas perilaku pribadi Nabi SAW tersebut dan menyatakan sebagai akhlak yang paling luhur (Muhammad, 2011).
Fakta lain tentang kerahmatan Islam ditunjukkan oleh apa yang dikenal kaum Muslimin sebagai “Piagam Madinah” atau “Traktat Madinah”, sebuah konstitusi yang dideklarasikan oleh Nabi Muhammad SAW, di Madinah. Para sarjana hari ini sering menyebut Piagam ini merupakan traktat atau perjanjian konstitusional tentang hak-hak asasi manusia universal yang pertama di dunia. Salah satu inti piagam ini menyatakan, “Orang Islam, Yahudi, dan warga Madinah yang lain, bebas memeluk agama dan keyakinan mereka masing-masing. Mereka dijamin kebebasannya dalam menjalankan ibadah. Tidak seorangpun dibenarkan mencampuri urusan agama orang lain. Orang-orang Yahudi Madinah yang menandatangani (menyetujui) piagam ini berhak memperoleh pertolongan dan perlindungan serta tidak diperlakukan zalim. Orang Yahudi bagi orang Yahudi dan orang Islam bagi orang Islam. Jika di antara mereka berbuat zalim (aniaya, melanggar hukum), hal itu akan menyengsarakan diri mereka sendiri dan keluarganya. Setiap penindasan dilarang. Mereka sama-sama wajib mempertahankan negerinya dari serangan musuh (Muhammad, 2011).
Al-Qur’an menyatakan, diciptakan-Nya manusia berbeda suku bangsa untuk saling mengenal (lita’arafu). Keragaman menggerakkan persatuan. Keragaman juga merupakan sarana untuk kemajuan peradaban. Karena peradaban tercipta salah satunya dengan kekayaan sudut pandang dan intelektualitas banyak manusia dan perbedaan-perbedaan. Dengan saling mengenal perbedaan, kita bisa belajar membangun peradaban. Dengan saling tahu perbedaan, maka sikap saling menghargai dan menghormati akan terbangun, dan proses belajar akan tercipta. Kesalahpahaman sering terjadi karena kita belum saling mengenal keragaman di antara kita. Namun, tidak cukup interaksi hanya untuk mengenal yang lain, mereka pun harus juga mengenal kita. Interaksi kedua belah pihak akan melahirkan tidak hanya simpati tapi juga empati. Kalau kita meminta orang lain memahami kita, maka pihak lain pun meminta hal yang sama. Langkah awalnya persis seperti pesan Al-Qur’an, saling mengenal.
Para leluhur masyarakat Nusantara sejak berabad-abad lalu telah mencetuskan bahwa walaupun berbeda-beda, tetapi kita tetap satu (bhinneka tunggal ika). Semboyan tersebut bisa ditemukan dalam Kitab Sutasoma karya Empu Tantular yang ditulis abad ke-14 pada era Kerajaan Majapahit. Indonesia beruntung telah memiliki falsafah bhinneka tunggal ika sejak dahulu ketika negara barat masih mulai memperhatikan tentang konsep keberagaman. Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keberagaman. Warisan kebudayaan yang berasal dari masa-masa kerajaan hindu, budha dan Islam tetap lestari dan berakar di masyarakat. Atas dasar ini, para pendiri negara sepakat untuk menggunakan bhinneka tunggal ika yang berarti “berbeda-beda tapi tetap satu jua” sebagai semboyan negara. Bangsa Indonesia sudah berabad-abad hidup dalam kebersamaan dengan keberagaman dan perbedaan. Perbedaan warna kulit, bahasa, adat istiadat, agama, dan berbagai perbedaan lainya. Perbedaan tersebut dijadikan para leluhur sebagai modal untuk membangun bangsa ini menjadi sebuah bangsa yang besar. Sejarah mencatat bahwa seluruh anak bangsa yang berasal dari berbagai suku dan agama semua terlibat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Semua ikut berjuang dengan mengambil peran masing-masing. Keselarasan atau harmoni Negara Republik Indonesia yang telah tercipta selama beberapa dasawarsa oleh instrumen bernama Pancasila tetap saja mendapat rongrongan dari beberapa kelompok. Untuk melegitimasi gerakannya, mereka bahkan menenteng panji agama Islam sehingga seolah mampu mengobarkan militansi semua dari diri seseorang.
Terkait hal ini, Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sering menekankan, pada hakikatnya mental intoleran ada pada setiap manusia. Sikap ini akan meledak-ledak ketika mendapat sedikit percikan api untuk melakukan rongrongan terhadap dasar negara sehingga pemahaman anti-Pancasila menyeruak. Mereka menilai bahwa sudah semestinya sebagai negara mayoritas muslim, dasar negara yang harus diterapkan juga harus berdasarkan syariat Islam. Di titik inilah mereka memahami Islam secara simbolik yang harus bertengger menjadi formalisasi agama dalam sistem negara. Padahal Gus Dur (2012) sendiri menyampaikan bahwa Islam tak perlu dikerek menjadi bendera. Dalam konteks bangsa Indonesia yang plural, tentu arogansi sebagian kelompok Islam yang ngotot dengan khilafah akan membuat bangsa Indonesia tercerai berai. Apalagi kelompok tersebut tak segan-segan berlaku keras dan menghilangkan nyawa manusia jika tak sepaham dengannya. Inilah yang disebut radikalisme berbaju agama sehingga muncul tindakan terorisme. Padahal terorisme sendiri tidak mempunyai agama. Artinya, agama dan keyakainan mana pun tidak mengajarkan kekerasan, apalagi membunuh sesama manusia.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa konsep negara di kalangan kaum muslimin masih belum mendapat kesepakatan. Setidaknya kaum muslim harus menyadari dan meletakkan agama Islam sebagai ruh kehidupan bangsa dan negara. Bukan sebaliknya, agama berusaha diformalisasikan ke dalam sistem negara. Apalagi di negara yang majemuk seperti bangsa Indonesia. Belajar dari Gus Dur, seluruh bangsa hanya perlu berempati tinggi untuk mewujudkan persatuan sehingga dapat memperkuat negara. Gus Dur (1991) memberikan penjelasan substantif apa yang telah dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU). Pertama, menurut Gus Dur, NU mampu menjaga agar tetap lurus dalam memandang kenegaraan sebagai sebuah bangsa. Terminologi bangsa dalam hal ini adalah kemajemukan, keberagaman, dan perbedaan yang harus terus dirawat. Karena menurut Gus Dur, semakin berbeda kita, semakin kita mengetahui titik-titik persatuan kita sebagai bangsa.
Pandangan negara bangsa (nation state) yang terus dirawat oleh NU karena ada kecenderungan manusia ketika menjadi modern menghendaki negara ini salah satu di antara dua: lepas dari agama sama sekali (menjadi negara sekuler) atau negara dimotivasi oleh agama seperti gairah mendirikan negara Islam. Tentu paradigma ini tidak terlepas dari kehidupan bangsa Indonesia yang semakin modern. Dalam konteks ini, menjadi bangsa Indonesia yang mampu memodernisasi tradisionalitas dan mentradisionalisasi modernitas menjadi penting seperti prinsip NU dalam menyikapi perubahan global dengan tetap berpegang teguh pada, al-muhafadzah alal qadimis sholih, wal akhdzu bil jadidil ashlah (menjaga tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Kedua, NU mampu menjaga agama untuk tetap mewarnai kehidupan bangsa dan negara. Artinya, kehidupan beragama tetap menjadi penopang keharmonisan bangsa karena agama pada intinya mengajarkan kebaikan. Di titik inilah masyarakat muslim penting menempatkan Islam sebagai agama publik, yakni agama yang mampu menjaga harmonisasi interaksi sosial sesama anak bangsa. Bukan sebaliknya, menempatkan agama di menara gading sehingga buta akan kebersamaan yang justru bisa diwujudkan oleh sesama penganut agama dengan dasar muwafaqah atau kesamaan sebagai anak bangsa dari sebuah negara bangsa (NU Online, 2019). Kesetaraan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bermasyarakat satu prasyarat dalam menjaga dan mewujudkan berbangsa dan bernegara penuh toleransi, kedamaian, saling menghargai satu sama lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Sayyid Muhammad dalam Lanny Octavia, dkk. 2014. Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren. [ed.] Ibi Syatibi & Lanny Octavia. Jakarta : Rumah Kitab-Rene Book, 2014. p. 37. Vol. I.
Jabbar, Syaikh Umar Abdul. Khulashah Nur al-Yaqin. Vol. III.
Lanny Octavia, dkk. 2014. Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren. [ed.] Ibi Syatibi & Lanny Octavia. Jakarta : Rumah Kitab-Rene Book, 2014. pp. 32-33. Vol. I.
—. 2014. Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren. [ed.] Ibi Syatibi & Lanny Octavia. Jakarta : Rumah Kitab-Rene Book, 2014. p. 112. Vol. I.
Muhammad, Al-Suyuthi dalam Husen. 2011. Mengaji Pluralisme Kepada Mahaguru Pencerahan. [ed.] Mukti Ali el-Qum. Bandung : Al-Mizan (Mizan Media Utama), 2011. pp. 56-57. Vol. I.
Muhammad, K.H. Husen. 2011. Mengaji Pluralisme Kepada Mahaguru Pencerahan. [ed.] Mukti Ali el-Qum. Bandung : Mizan Media Utama (MMU), 2011. p. 56. Vol. I.
Online, Redaktur NU. 2019. https://www.nu.or.id/post/read/112662/memaknai-keragaman-bangsa. www.nu.or.id. [Online] nu.or.id, Oktober 26, 2019. [Cited: Januari 28, 2020.]
Syaikh Musthafa al-Ghulayaini dalam Lanny Octavia, dkk. 2014. Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren. [ed.] Ibi Syatibi & Lanny Octavia. Jakarta : Rumah Kitab-Rene Book, 2014. p. 32. Vol. I.
Wawan Tunggul Alam, SH. 2002. Demi Bangsaku: Pertentangan Bung Karno vs Bung Hatta. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002. p. 447.
Tinggalkan Komentar