“Tanpa Pancasila, negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asa dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan perjuangkan. Pancasila ini akan saya perjuangkan dengan nyawa saya. Tidak peduli ia dikebiri oleh angkatan bersenjata atau dimanipulasi umat islam.” (Gus Dur, dalam buku Gus Dur dan Negara Pancasila).
Pancasila Sebagai Sebuah Ideologi
Pancasila adalah lima dasar fundamental bangsa Indonesia.Sebagai dasar filsafat negara ayang telah diterima bangsa Indonesia dalam sepanjang sejarah bangsa, rumusan dan isi Pancasila bersifat umum, universal, tetap dan tidak berubah. Hal ini memungkinkan Pancasila menjadi sumber yang tak terhingga dalam luas dan kayanya bagi perkembangan kehidupan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia (Suyahmo,2018: 61).
Pancasila sebagai ideologi negara, tentunya mampu memberikan orientasi, wawasan, asas, dan pedoman normatif dalam keseluruhan bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai Pancasila harus terejawantahkan dalam setiap gerak langkah dan sisi kehidupan baik dalam kerangka individu, kelompok, masyarakat dan dalam kebersamaan sebagai sebuah masyarakat bangsa. Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan menjadi ruh yang saling mendasari dalam setiap gerak langkah seluruh komponen bangsa Indonesia dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Islam Wasathiyyah
Apakah wasathiyyah?, M. Quraish Shibab secara cukup jelas memberi penjelasan tentang wasathiyyah. Dalam kamus-kamus bahasa Arab, kata wasathiyyah terambil dari kata wasatha yang mempunyai sekian banyak arti. Dalam Al-Mu’jam Al-Wasith wasathiyyah diartikan ‘adil. Kalau kita sepakat bahwa Isam adalah moderasi, yakni seluruh ajarannya bersifat moderat, maka dengan mempelajari ajaran Islam secara seksama, kita akan menemukan gambaran umum tentang hakikat moderasi itu. Secara singkat kita dapat merangkum ajaran Islam pada tiga hal pokok.
Dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara nilai-nilai Islam wasathiyyah sangatlah penting dalam menjamin keberlangsungan kita sebagai bangsa yang multikultur dari berbagai aspek kehidupan.
Pancasila dan Islam Wasathiyyah
Pancasila merupakah kristalisasi nilai-nilai yang ada dan berkembang sejak dahulu kala di tanah air Indonesia. Ia juga sebagai kado terindah dan termahal yang telah dipersembahkan oleh para pendiri bangsa dengan segenap kenegarawanannya kepada seluruh rakyat Indonesia. Apakah Pancasila sejalan dengan nilai-nilai Islam yang wasathiyyah?atau kalau dibalik, apakah nilai-nilai Islam wasathiyyah ada dalam Pancasila?
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Konsep ketuhanan berasal dari kata dasar Tuhan mendapat awalan dan akhiran ke-an, sehingga menjadi ketuhanan. Sedangkan “Tuhan” sendiri merupakan Zat yang maha kuasa, pencipta segala yang ada di alam semesta ini, yang disebut penyebab pertama atau kausa prima. Istilah “ketuhanan” berarti “keyakinan dan pengakuan yang diekspresikan dalam bentuk perbuatan terhadap Zat yang Maha kuasa sebagai pencipta” (Suyahmo, 2018: 156). Indonesia dengan berbagai macam keyakinan dan agama merupakan cermin bangsa yang bertuhan, disini terlihat bagaimana sila pertama sarat akan nilai-nilai Islam wasathiyyah yang tetap menghargai eksistensi agama dan keyakinan lain. Bahkan sila pertama merupakan konsep tauhid dalam ajaran Islam dengan kata “Yang Maha Esa”.
Sila ini dulu menjadi perdebatan yang hangat di kalangan pendiri bangsa. Dulu sebutannya ialah ‘ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ atau sering juga disebut sebagai Piagam Jakarta. Namun karena ada ketidaksetujuan di sana-sini, sila ini kemudian diubah menjadi ‘ke-Tuhan-an Yang Maha Esa’.
Jika dibandingkan antara redaksi ‘ke-Tuhan-an Yang Maha Esa dan redaksi ‘ketuhanan dengan menjalan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’, ternyata yang lebih bernilai tauhid atau yang lebih bersemangat keesaan Tuhan ialah yang pertama. Sedangkan yang kedua, penyebutan ketuhanan, apalagi dengan t kecil, tidak menekankan makna tauhid yang sebenarnya.
Karena itu, sila yang sekarang digunakan jelas sangat bersesuaian sekali dengan semangat kemahaesaan Tuhan yang digaungkan dalam berbagai ayat-ayat Al-Quran. Hal demikian misalnya dapat dilihat pada beberapa ayat seperti QS. An-Nisa: 36, QS. Al-An’am: 151, QS. An-Nur: 55, QS. Yusuf: 40, QS. Ali Imran: 64 dan masih banyak lainnya. Semua ayat ini mengandung arti perintah selalu untuk mengesakan Tuhan. Sementara itu musuh utama kemahaesaan Tuhan dan keserbamutlakannya ialah sikap mengesakan suatu pendapat sebagai satu-satunya kebenaran dan sikap memutlakkan yang seharusnya tidak berhak dimutlakkan. Gerakan mengkafir-kafirkan orang hanya karena berpaham Pancasila jelas merupakan lawan dari semangat tauhid (Aziz dalam bincang syariah.com). Betapa ajaran Islam wasathiyyah begitu tertanam dalam lubuk hati dan kesadaran para pendiri bangsa ini.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Kemanusiaan,terdiri dari kata dasar “manusia” yang mendapat awalan dan akhiran ke-an, sehingga menjadi “kemanusiaan”. Kemanusiaan mengandung arti “ kesadaran, sikap, dan perbuatan yang sesuai dengan nilai-nilai hidup manusiawi secara universal. Nilai-nilai hidup manusiawi yang dimaksudkan disini adalah pertimbangan baik-buruk secara kodrati berada dalam hati nurani manusia yang sesuai dengan ide kemanusiaan. (Suyahmo, 2018: 160). Sedangkan adil adalah memberikan sesuatu hal sebagai rasa wajib yang telah menjadi haknya, baik terhadap diri sendiri, sesama manusia, terhadap alam sekitarnya, maupun terhadap Tuhan (Bakry dalam Suyahmo, 2018: 160). Beradab, berasal dari kata “adab”, yang artinya tata kesopanan, sopan santun. Beradab mengandung arti: bersikap, berprilaku, bertindak, berdasarkan pertimbangan nilai-nilai moral yang berlaku dalam kehidupan bersama.
Jika kita menolak semangat yang terkandung dalam sila kedua dari Pancasila ini, berarti dengan sendirinya kita menolak menjalin hubungan baik dengan manusia secara beradab dan berakhlak. Konsekuensi logisnya, kalau kita menolak berhubungan baik dengan manusia, sebutan yang pas untuk kita ialah manusia tak bermoral, barbar dan biadab. Na’udzu billah! Dalam Al-Quran, banyak sekali ayat-ayat yang berbicara mengenai posisi manusia dan kemanusiaan. Hal demikian misalnya seperti yang dapat kita perhatikan pada QS. At-Taghabun: 3, Hud: 61, Ibrahim: 32-34, Luqman: 20, Ar-Rahman: 3-4, Al-Hujurat: 13, Al-Maidah: 32 dan lain-lain.
Membunuh manusia hanya karena alasan mereka kafir, musyrik menurut pandangannya jelas sangat bertentangan dengan ayat ini. Nabi saja diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia agar mereka menjadi manusia seutuhnya. Jika ada seorang muslim yang tidak memiliki sifat perikamanusiaan, maka dia bertentangan dengan Al-Quran dan hadis nabi. Dalam hadis-hadisnya, Nabi sering mendefinisikan seorang muslim sebagai man salima al-muslimun min yadihi wa lisanihi “orang yang mampu menjaga lidah dan tangannya untuk tidak menyakiti sesama.” Jadi orang yang tidak menjaga lidah dan tangannya, dalam definisi hadis Nabi ini, layak disebut sebagai bukan muslim. Artinya sebagai manusia muslim kita harus berperikemanusiaan.
3. Persatuan Indonesia
Persatuan Indonesia, dalam konteks Pancasila dapat diartikan sebagai “usaha kearah bersatu dalam kebulatan rakyat untuk membina nasionalisme dalam negara Indonesia.” Di dalam Persatuan Indonesia terkandung adanya perbedaan-perbedaan yang biasa terjadi di dalam masyarakat dan bangsa, baik itu perbedaan bahasa, kebudayaan, adat istiadat, agama, maupun suku. Perbedaan-perbedaan itu jangan dijadikan alasan untuk berselisih serta menjadi daya tarik kearah kerjasama dan kesatuan atau ke arah resultate-sintesa-yang lebih harmonis. Hal ini sesuai dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” (Suyahmo, 2018: 166).
Dalam Al-Quran, persatuan merupakan prinsip terpenting dalam membangun komunitas. Dalam Al-Quran, ditemukan banyak sekali anjuran untuk bersatu dan kecaman terhadap perpecahan. Bahkan persatuan disebut Al-Quran sebagai tali Allah. Hal demikian seperti yang dapat kita lihat pada QS. Ali Imran: 64, 102-107. Semangat persatuan juga dapat kita temukan dalam beberapa ayat Al-Quran seperti dalam QS. Al-An’am: 153, QS. Ar-Rum: 30-32, QS. Al-Bayyinah: 1-5 dan lain-lain. Di dalam prakteknya di negara Madinah, Nabi menjalin persatuan dengan kelompok-kelompok sosial dari kalangan Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani, dan kalangan orang musyrik seperti Bani Khuza’ah, Bani Juhainah dan lain-lain yang kemudian dikenal sebagai Piagam Madinah.
Nabi mengajak semua elemen masyarakat untuk bersatu jika kemudian diserang oleh pihak musuh, yakni kaum Musyrik Quraish. Jika dengan kelompok non-muslim saja Nabi menjalin persatuan di negara Madinah, seharusnya umat Islam juga bersatu padu dan bahu membahu dalam kebaikan dengan kelompok selain mereka. Indonesia dengan berbagai macam suku, agama, budaya mampu menyatukan elemen-elemen masyarakat. Dalam perspektif Islam, Indonesia telah mengamalkan semangat Al-Quran dan sunnah Nabi untuk menjalin dan menjaga persatuan dari tataran terkecil sampai tataran terbesar.
Jika menolak sila persatuan dan semangatnya ini, berarti dengan sendirinya kita mendukung perpecahan dan kerusakan dan itu artinya kita dapat pula disebut sebagai pembuat keonaran dan pemecah belah umat. Jadi banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan kita untuk bersatu.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
Dalam sila keempat ini makna terkandung didalamnya adalah, suatu sistem pemerintahan rakyat dengan cara melalui badan-badan tertentu, yang dalam menetapkan suatu peraturan ditempuh dengan jalan musyawarah untuk mufakat atas dasar kebenaran dari Tuhan dan putusan akal sesuai dengan rasa kemanusiaan yang memperhatikan dan mempertimbangkan kehendak rakyat untuk mencapai mencapai kebaikan hidup bersama (Suyahmo, 2018: 170).
Semangat yang terkandung dalam sila ini ialah semangat untuk melawan segala bentuk tirani yang terejawantahkan ke dalam sistem totalitarianisme dan otoritarianisme dalam pemerintahan. Semangat melawan tirani ini jelas semangat yang quranik, karena Islam menolak dengan tegas kekuasaan yang terpusat kepada individu atau segelintir elit tertentu. Kekuasaan yang terkumpul pada satu individu tertentu sangat rawan untuk disalahgunakan dan rawan dari kekeliruan dalam mengambil keputusan dan kebijakan. Dalam Al-Quran ilustrasi tentang pemusatan kekuasaan dan kebenaran hanya pada satu sosok tertentu terletak pada model kepemimpinan Fir’aun.
Untuk menghindari itu, al-Quran membuka kanal berupa musyawarah dan pembagian tugas dan wewenang (kullukum ra’in) sebagai solusi agar kekuasaan tidak terpusat kepada satu sosok pemimpin. Nabi dalam QS. Qaf: 45 sering disebut sebagai wa ma anta alayhim bi-jabbar “Kamu bukanlah tipe orang yang bertindak semena-mena terhadap mereka” dan dalam QS. al-Ghasyiyah: 22 sebagai lasta alayhim bi-musaytir “Kamu bukanlah tipe orang yang otoriter”. Dua ayat ini cukup untuk dijadikan rujukan bahwa dalam Islam, tipe kepemimpinan yang otoriter sangatlah dilarang. Ditambah lagi dengan penegasan untuk selalu bermusyawarah seperti yang dapat dilihat pada QS. Al-Baqarah: 233, Ali Imran: 159 dan As-Syura: 38 dan semangat pembagian kerja atau perwakilan seperti yang dapat kita temukan pada QS. An-Nisa: 35 dan QS. Yusuf: 55.
Jika kita menolak sila keempat dari Pancasila ini, berarti dengan sendirinya kita menolak sistem perwakilan dan musyawarah serta mendukung sistem otoriter dan itu artinya kita mengadopsi sistem otoritarianisme yang kufur.
5. Kedilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:”suatu tata masyarakat adil dan makmur sejahtera lahiriah batiniah, yang setiap warga mendapatkan segala sesuatu yang telah menjadi haknya sesuai dengan hakikat manusia adil dan beradap.”Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam wujud pengamalannya adalah bahwa setiap warga harus mengembangkan sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan, keserasian, keselarasan, antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain” (Suyahmo, 2018: 183).
Jika mereka menolak Pancasila, berarti mereka mengabaikan keadilan dan membela kezaliman. Sila kelima dalam Pancasila sangat menjunjung tinggi keadilan, semangat yang selalu digaungkan Al-Quran dalam berbagai ayat-ayatnya. Dalam Al-Quran, menjunjung tinggi keadilan merupakan bentuk amal yang dekat dengan ketakwaan. Ayat-ayat yang berbicara mengenai keadilan dapat dilihat pada QS. An-Nisa: 58, 135, Al-Maidah: 8, Al-An’am: 152-153, Al-A’raf: 29, Hud: 84-86 dan lain-lain.
Lebih jauh lagi, jika kita menolak UUD 45 yang bersemangat anti-penindasan dan penjajahan, berarti dengan sendirinya kita pro-penindasan dan pro-penjajahan. Jika demikian halnya, sebagian kita yang melakukan aksi-aksi penindasan yang mengatasnamakan Islam sebenarnya merupakan musuh Islam yang nyata dan musuh bagi Indonesia yang islami ini. Dengan pendasaran teologis terhadap Pancasila dan UUD 45 melalui semangatnya yang sangat quranik, jelaslah bahwa tidak tepat jika kedua dasar sistem kenegaraan kita ini dianggap sebagai tidak Islami.
Meski secara nama, Pancasila dan UUD 45 tidak ada dalam Al-Quran dan As-sunnah, namun seperti yang ditegaskan imam al-Ghazali, yang islami itu bukan sekedar yang ma nataqa an-nash ‘apa yang ada dalam al-Quran dan Sunnah’ tapi lebih dari itu, yakni, yang ma wafaqa as-syar’a ‘yang sesuai dengan semangat syariat’. Pandangan ini cukup untuk membantah keyakinan bahwa semua hukum buatan manusia itu produk kekufuran. Selagi hukum tersebut bersesuaian dengan syariat, tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal, maka jelas Pancasila dan UUD 45 sangatlah islami yang penuh nilai-nilai Islam wasathiyyah.
Siapapun orangnya dan apapun pahamnya yang tegas-tegas menolak keesaan Allah, menentang kemanusiaan, memecah belah persatuan, mengadopsi otoritarianisme dan menghancurkan sendi-sendi keadilan itulah thagut sebenarnya. Jika jaringan teroris yang mengatasnamakan Islam melawan ini semua, bukankah dengan sendirinya mereka itu salah satu thagut yang harus kita perangi? Wallahu a’lam.
Selamat Hari Santri Nasional Tahun 2021.
Daftar Pustaka
Aning, Floriberta. 2006. Lahirnya Pancasila (Kumpulan Pidato BPUPKI). Yogyakarta: Media Pressindo.
Latif, Yudi. 2014. Mata Air Keteladanan Pancasila dalam Perbuatan. Jakarta: Mizan.
Shihab, Quraish, M. 2019. Wasathiyyah Wawasan Islam Tentang Moderasi Beragama. Jakarta: Lentera Hati.
Suyahmo, Dr., Prof. 2018. Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Magnum Pustaka Utama.
Tinggalkan Komentar