PENDIDIKAN HUMANISTIK DAN KEMANUSIAAN
Oleh: SUNARWAN, S.Pd.I., M.Pd.I.
REALITAS PENDIDIKAN KITA
Pendidikan merupakan suatu proses di dalam menemukan transformasi (baca: perubahan) baik dalam diri, maupun komunitas. Oleh sebab itu, proses pendidikan yang benar adalah membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan, intimidasi, dan eksploitasi. Disinilah letak kesamaan pandang (afinitas) dari pedagogik, yaitu membebaskan manusia secara komprehensif dari ikatan-ikatan yang terdapat diluar dirinya atau dikatakan sebagai sesuatu yang mengikat kebebasan seseorang.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional bab I, pasal I ayat (1) menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan potensi siswa untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara ( UU Sisdiknas No 20, 2003: 3).
Pandangan klasik tentang pendidikan pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat dijalankan pada tiga fungsi sekaligus; Pertama, menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat di masa depan. Kedua, mentransfer atau memindahkan pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan, dan Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan peradaban (Langgulung, 1980: 2).
Realitas pendidikan dewasa ini masih hanya sebatas transfer of knowledge, belum sampai transfer of value. Menurut Azyumardi Azra yang menciptakan konsep pendidikan kritis, bahwa pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien (latihan fisik, mental dan moral). Dengan demikian, individu-individu diharapkan dengan pendidikan mampu memenuhi tugasnya sebagai manusia yang diciptakan Allah sebagai makhluk yang sempurna dan terpilih sebagai khalifah-Nya di bumi sebagaimana dalam ajaran Islam, dan menjadi warga negara yang berarti dan bermanfaat bagi suatu negara (Azra, 2000: ix).
Pendidikan Humanistik
Sejatinya pendidikan tidak hanya diartikan sebagai proses penyampaian ilmu pengetahuan kepada peserta didik (transfer of knowledge). Namun jauh lebih dalam dari itu pendidikan semestinya adalah usaha yang benar-benar dilakukan dengan segala kepercayaan diri dan dilandasi oleh keikhlasan dalam membentuk dan menanamkan nilai (transfer of value) dalam diri peserta didik sebagai manusia yang dibekali dengan kesempurnaan indera. Selain itu, pendidikan juga merupakan kerja budaya yang menuntut peserta didik untuk selalu mengembangkan potensi dan daya kreatifitas yang dimilikinya agar tetap beradaptasi sehingga dapat bertahan dalam segala aspek hidup dan kehidupannya (survive).
Ki Hajar Dewantara mengusung pendidikan nasional dengan konsep penguatan penanaman nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa sendiri secara masif dalam kehidupan anak didik. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara yang dikutip Mohammad Yamin dalam sebuah penggambaran proses humanisasi, “berilah kemerdekaan kepada anak-anak didik kita: bukan kemerdekaan yang leluasa, tetapi yang terbatas oleh tuntutan-tuntutan kodrat alam yang nyata dan menuju ke arah kebudayaan, yaitu keluhuran dan kehalusan hidup manusia. Agar kebudayaan itu dapat menyelamatkan dan membahagiakan hidup dan penghidupan diri dan masyarakat, maka perlulah dipakai dasar kebangsaan, tetapi jangan sekali-kali dasar ini melanggar atau bertentangan dengan dasar yang lebih luas yaitu dasar kemanusiaan”. ( Yamin, 2009: 177).
Manusia menurut Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara memandang manusia sebagaimana dijelaskan dalam buku yang berjudul Keindahan Manusia adalah sebagai berikut:
“ Manusia adalah makhluk yang berbudi, sedangkan budi artinya jiwa yang telah melalui batas kecerdasan yang tertentu, hingga menunjukkan perbedaan yang yang tegas dengan jiwa yang dimiliki hewan. Jika hewan hanya berisikan nafsu-nafsu kodrati, dorongan dan keinginan, insting dan kekuatan lain yang semuanya itu tidak cukup berkuasa untuk menentang kekuatan-kekuatan, baik yang dating dari luar atau dari dalam jiwanya. Jiwa hewan semata-mata sanggup untuk melakukan tindakan-tindakan yang perlu untuk melakukan tindakan-tindakan yang perlu untuk memelihara kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang masih sangat sederhana, misalnya makan, minum, bersuara, lari dan sebagainya.” (Dewantara, 2009: 215).
Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi- tingginya (Idris, 1991: 9). Pendidikan yang menjadi cita-cita Ki Hajar Dewantara adalah membentuk anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir dan batin. Luhur akal budinya serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna bertanggungjawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air serta manusia pada umumnya. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka Ki Hajar Dewantara menawarkan beberapa konsep dan teori pendidikan di antaranya “Panca Darma”, yaitu dasar-dasar pendidikan yang meliputi : “Dasar kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan dan dasar kemanusiaan.” (Soerjomiharjo, 1986: 52).
Pendidikan yang sangat memuliakan kodrat manusia inilah yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara dalam konsep pendidikan humanis. Konsep inilah sejatinya menjadi tujuan dan ruh dari konsep pendidikan di Negara kita Indonesia yang sudah tercantum dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional kita. Konsep among method atau system among yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara merupakan pengejawantahan dari konsep pendidikan humanistik. Among mempunyai pengertian membina, menjaga, membina dan mendidik anak dengan kasih sayang. Pelaksana among (orang yang momong) disebut pamong. Seseorang pamong memiliki kepandaian, pengetahuan dan keahlian serta pengalaman yang lebih dari yang di among.
Konsep pendidikan humanistik juga bisa dipahami dari manuskrip-manuskrip kuno yang sangat kaya akan bagaimana proses dan metode pendidikan seharusnya dilakukan dalam rangka memanusiakan manusia. Misalnya sebagaimana tertulis dalam pupuh sinom karya KGPAA. Hamengku Negara IV, sebagai berikut:
“ Nuladha laku utama
Tumprape wong Tanah Jawi
Wong Agung ing Ngeksiganda
Panembahan Senapati
Kapati amarsudi
Sudane hawa lan nepsu
Pinesu tapa brata
Tanapi ing siyang ratri
Hamemangun karyenak tyasing sasama.”
(Meneladani akhlak mulia
Bagi semua orang yang tinggal di Jawa (Nuswantara)
Semua manusia luhur di Mataram
Sebagaimana Panembahan Senapati
Tekun melatih diri
Agar dapat meredakan hawa nafsu
Senantiasa menyandarkan hati kepada Ilahi
Sepanjang siang maupun malam
Demi membangun peradaban yang saling menghormati hati nurani).
Pada metode humanistik, peserta atau sasaran didik dipandang sebagai individu yang kompleks dan unik sehingga dalam menanganinya tidak bisa dipandang dari satu sisi saja. Dalam metode humanistik, kehidupan dan perilaku seorang yang humanis antara lain lebih merespon perasaan, lebih menggunakan gagasan siswa dan mempunyai keseimbangan antara teoritik dan praktek serta sedikit ritualitik dan lain-lain. Dari beberapa literatur pendidikan, ditemukan beberapa model pembelajaran yang humanistik ini yakni: humanizing of the classroom, active learning, quantum learning, quantum teaching, dan the accelerated learning.
Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator. Guru-guru yang efektif adalah guru-guru yang „manusiawi‟. aliran humanistik membantu siswa untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan potensipotensi yang dimiliki. Karena ia sebagai pelaku utama yang akan melaksanakan kegiatan dan ia juga belajar dari pengalaman yang dialaminya sendiri. Dengan memberikan bimbingan yang tidak mengekang pada siswa dalam kegiatan pembelajarannya, akan lebih mudah dalam menanamkan nilainilai atau norma yang dapat memberinya informasi padanya tentang perilaku yang positif dan perilaku negatif yang seharusnya tidak dilakukannya.
Inilah sesungguhnya potret luhur dari sistem pendidikan Indonesia sejak dahulu. Tentu menjadi tugas seluruh kita para akademisi untuk menjaga, meneladani dan mempraktekkannya dalam proses pendidikan dan pembelajaran kita. Semoga?!
SUMBER BACAAN
Azra, Azyumardi , 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta: Kompas.
Dewantara, Ki Hajar , 2004. Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan, Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Dewantara, Ki Hajar 2009. Menuju Manusia Merdeka, Yogyakarta: Leutika.
Idris , Zahara, 1991. Dasar-dasar Pendidikan, Padang : Angkasa Raya.
Langgulung, Hasan, 1980. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung: al-Maarif.
Mas’ud, Abdurrahman, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam),2002. Yoggyakarta: Gama Media.
Soerjomiharjo, Abdurrahman . 1986. Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern, Jakarta: Sinar Harapan.
Moh.Yamin, Moh., 2009. “Menggugat Pendidikan Indonesia; Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara”, Yogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Tinggalkan Komentar